Anak-anak desa tampak begitu polos, mereka tidak tahu bagaiman cara menyikat gigi yang baik dan benar. Sekitar 69,3 persen penduduk Indonesia yang mengeluh sakit gigi, mereka mengobati sendiri penyakitnya.
Pagi itu, cuaca Desa Sukarare (Lombok Tengah) cerah. Halaman SD 1 Madrasah itu dipenuhi oleh lebih dari seratus murid yang masing-masing dibagikan sikat gigi, pasta gigi dan gelas berisi air untuk kumur-kumur.
Anak-anak desa yang tampak polos itu diajarkan oleh "kakak-kakak" mahasiswa dari Jakarta, cara menyikat gigi yang baik dan benar. Gerakan atas-bawah dan kiri-kanan, tak perlu kuat-kuat, dicontohkan dan ditiru anak-anak itu. Ada yang malu-malu, senyum, sambil tertawa tapi ada juga yang serius. Hari itu ada acara sikat gigi massal yang juga dihadiri aparat Kepala Desa, petugas balkesmas, dan guru-guru.
Hari sebelumnya, di Sukarare itu pula, puluhan dari anak-anak itu juga memeriksakan gigi mereka secara gratis. Suhaini, siswi kelas 2 Sanawiyah, mengaku baru pertama kali diperiksa giginya. "Tapi saya tak takut", katanya. Beberapa ruang kelas disulap jadi ruang praktik. Gigi anak-anak itu sebagian besar tak terawat.
Didampingi para dokter senior, para mahasiswa kedokteran gigi yang praktik, tanpa sungkan dan dengan ramah, memeriksa, mengorek kotoran dan membersihkan gigi anak-anak Sukarare. Sebagian ada yang ditambal. Rata-rata, kondisi gigi anak-anak itu caries (gigi lobang), caries rampan (bolong semua), mulut dan gigi berkuman, dan ludah kurang. Dari itu, ada anak yang diberikan analgesic (peredam sakit) dan antibiotik, serta vitamin.
Hari gini tak tahu cara gosok gigi yang benar? Tidak heran, bahkan lumrah! Berdasarkan data terakhir Survey Kesehatan Nasional, sekitar 69,3 persen penduduk Indonesia yang mengeluh sakit gigi, mereka mengobati sendiri penyakitnya. Jadi, begitulah sebagian besar penduduk Indonesia, "asal sikat gigi", dan tak akrab dengan dokter gigi. Dokter yang satu ini, kenyataannya pada awal milenium kedua ini, masih kurang "populer" di mata rakyat. Minimal, terbukti di Lombok, NTB, baru-baru ini, ketika mengikuti kegiatan kerja sosial (kersos) mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (FKG UI).
Simak, kabar dari pusat data dan informasi Persatuan Rumah Sakit Indonesia, dari 7 rumah sakit yang ada di wilayah Lombok Barat dan Lombok Tengah, hanya 3 rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan gigi, dengan total dokter gigi hanya lima orang. Tak hanya masalah gigi, kasus gizi buruk juga merupakan salah satu masalah kesehatan di kawasan wisata handalan Indonesia ini. Dari informasi Dinas Kesehatan provinsi setempat, jumlah balita yang bergizi buruk mencapai 1.334 balita dengan 23 balita meninggal dunia.
Karena itulah, FKG UI, terpanggil mewujudkan salah satu misi tridharma perguruan tinggi (pengabdian masyarakat) di Lombok, dengan mengadakan Kerja Sosial (Kersos) 2006, khususnya di Lombok Tengah dan Lombok Barat. Dengan tema, "Berbagi Karena Kami Peduli", sebanyak 130 orang (102 mahasiswa klinik dan preklinik dan 28 dokter gigi), rombongan yang dipimpin oleh Drg Risqa Rina Darwita, Phd, dan ketua panitia pelaksana Ahmed Setia Bakti, Sked, siap melayani. Penduduk yang dilayani masing-masing di Desa Sukarara dan Desa Gemel (Kecamatan Jonggat, Lombok Tengah) serta Desa Sekotong Tengah dan Sekotong Barat (Kecamatan Sekotong, Lombok Barat).
Kegiatan ini disambut baik oleh Pemda Lombok, yang secara kebetulan ketika itu, Lombok Barat berulang tahun ke-48. Mewakili Bupati Lombok, Drs H Uzair, Asisten Administrasi Pembangunan Lombok Barat menerima sebagian rombongan mahasiswa di kantor bupati. Rombongan mahasiswa dan dokter pendampingnya dibagi dalam empat kelompok, dan langsung menuju ke lokasi pelayanan selama empat hari.
Selain kabar "gigi buruk" maupun gizi buruk, di desa yang dikunjungi itu pun rupanya merupakan daerah endemik malaria tropika. Hal ini diakui oleh Dr L Duarna Suparlan, Kepala Dinkes Lombok Barat kepada Pembaruan. "Maklum, di sini memang banyak lagun yang terjadi bila ombak besar datang, lalu lagun itu menjadi sarang nyamuk. Sebenarnya sejak tahun 2002 kami sudah mengadakan gebrak malaria. Penyakit bisa diberantas tuntas bila melibatkan lintas sektor", katanya. Selain malaria, tambah Suparlan, juga banyak penyakit diare dan gizi buruk. Lombok Barat, terdiri dari 15 kecamatan, 121 desa, 142 dusun, 724 jiwa yang terdiri dari 222 kepala keluarga. "Sebanyak 140 keluarga merupakan keluarga miskin. Oleh karena itu kami sangat terbantu dengan bakti sosial mahasiswa FKG UI ini", katanya.
Hal serupa juga diakui oleh Kepala Desa Gemel, Sunardi S.Sos, penduduk desanya sangat terbantu dengan adanya kersos. "Desa kami belum pernah dapat bantuan kesehatan, termasuk kesehatan gigi dan mulut, dari Pemda Lombok. Di sini penduduknya kebanyakan petani, kalau sakit, termasuk sakit gigi diobati dengan jamu-jamu", katanya.
Sadar Sehat
Seminggu sebelum berangkat ke Lombok, rombongan mahasiswa FKG UI dan para dosen pendamping, sudah memakan obat pil kina, sebagai tindakan preventif antimalaria. Lalu diminum lagi ketika berangkat, dan sekali lagi ketika pulang ke Jakarta. Juga ditambah asupan vitamin lainnya. Bukan itu saja, menurut Jennifer, mahasiswa prekliniksemester 5 yang juga humas panitia, mereka membawa selimut sendiri, obat anti nyamuk, bahkan kelambu kecil. Peserta kersos juga memberikan kontribusi uang untuk mengikuti kegiatan ini.
"Kami tidur ngegelar kasur di kantor kepala desa rame-rame. Jadi jangan sampai ada yang jatuh sakit. Walau demikian, kami senang karena banyak sekali manfaatnya kegiatan baksos ini. Kami bisa langsung melihat persoalan rakyat Indonesia dan mempraktekkan ilmu yang kami pelajari", ujar Jennifer.
Ahmed Setia Bakti, SKG juga mengatakan, "Inti kunjungan kami ke Lombok, mari buka mata dan telinga untuk bantu sesama, sudah saatnya pemerintah dan masyarakat bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya arti kesehatan khususnya kesehatan gigi dan mulut. Tidak ada lagi masalah masyarakat yang harus ditutup-tutupi karena hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Mari bersama kita wujudkan kepedulian kita terhadap sesama, seperti slogan kersos kami, Berbagi Karena Kami Peduli", katanya.
Bentuk kegiatan yang Ahmed dkk lakukan adalah pengobatan gigi yang meliputi penambalan gigi dan pencabutan gigi, pengobatan umum gratis yang meliputi pengobatan nonbedah dan penyakit infeksi yang memiliki frekuensi tertinggi di wilayah tersebut, khitanan masal bagi anak-anak kurang mampu, penyuluhan kesehatan gigi dan mulut kepada siswa sekolah dasar dan masyarakat sekitarnya, penyuluhan kesehatan mengenai pencegahan dan pendeteksian dini penyakit infeksi dan menular yang umum terjadi di sana, pemberian makanan tambahan pada bayi di bawah usia 3 tahun dari keluarga strata sosial menengah ke bawah dengan harga murah, pelatihan untuk kader kesehatan, serta membina hubungan kerja sama antara mahasiswa FKG UI dengan masyarakat dan Pemda setempat serta aparat terkait di Pulau Lombok.
Lombok merupakan sebuah pulau di Kepulauan Sunda Kecil atau Nusa Tenggara yang terpisahkan oleh Selat Lombok dari Bali di sebelah barat, dan Selat Alas di sebelah timur dari Sumbawa. Pulau ini luasnya 4.725 km2 (sedikit lebih kecil dari Pulau Bali). Penduduk Lombok, yang beribu kota Mataram ini, tahun 2003, sebanyak 4.005.400. Lombok termasuk Provinsi Nusa Tenggara Barat, yang terbagi menjadi empat daerah tingkat II, yaitu Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur.
Melalui kegiatan ini, menurut Drg Yosi K.E Arianto DDS, MS, PhD, Wakil Dekan FKG UI, yang ikut mendampingi kersos, diharapkan wawasan para mahasiswa FKG UI tentang situasi dan kondisi wilayah pedesaan serta fenomena kesehatan masyarakat menjadi semakin luas.
Sehingga, kepekaan dan rasa tanggung jawab sosial serta kesadaran mereka untuk berperan aktif dalam peningkatan pemerataan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat pedesaan menjadi semakin tinggi.
Mahasiswa tidak hanya mendapatkan teori walaupun ada tugas-tugas dari sekolah di Jakarta tapi juga sekaligus praktik. "Kami ikut prihatin dan peduli atas situasi pedesaan kita melalui pemberitaan media massa. Secara rutin
kegiatan ini dilakukan setiap tahun dan dipilih wilayah pedesaan yang sulit mendapatkan perawatan gigi. "Tentu saja ini pun mendapatkan penilaian akademik," kata Drg Yosi.
Lima hari setelah melaksanakan kersos di Lombok, perjalanan lelah mahasiswa diakhiri dengan jalan-jalan ke pantai Senggigi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar